Mitra KPP RAN Rahimakumullah...
Di suatu malam yang ditumpahi cahaya bulan, seorang kiai sepuh
dari Jawa Timur bertutur. Ratusan santrinya menyimak kalimat demi kalimat yang keluar laksana mutiara.
Dengan nada pelan dan santai, sang kiai memberi nasehat yang kurang lebih
demikian:
***
Saya ini dulu sudah mengaji lebih dari tiga puluh tahun, tapi perasaan saya tak
dapat ilmu, kecuali hanya sedikit saja. Namun, saya selalu setia dengan proses
ini, proses belajar ala pesantren, taat pada metode pembelajaran para kiai dan
ulama salaf.
Pernah, ketika dulu mengaji Kitab
Ihya Ulumuddin baru beberapa lembar saja, kiai saya sakit, sampai dua tahun,
mendekati tiga tahun. Selama itu pula saya setia menunggu beliau. Setelah
beliau sembuh, saya baru dapat melanjutkan mengaji Kitab Ihya Ulumuddin karya
Imam Ghazali. Saya juga mengaji kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah
As-Sakandari.
Alhamdulillah, seletelah tiga
puluh tahun lebih mengaji, saya dapat membaca kitab-kitab (kuning) apa saja
yang telah diajarkan oleh kiai saya. Namun, seakan itu hanya di lidah saya
saja, tak sampai tenggorokan. Belum menancap di hati saya.
Kemudian, tanpa saya duga, kiai
saya meminta saya untuk menikahi putri beliau. Saya kaget: kenapa mesti saya?
Saya itu kan tidtak punya apa-apa? Saya juga bukan kategori orang yang bisa
bekerja. Usut punya usut, ternyata kiai saya menikahkan putrinya kepada saya
justru karena ketidakpunyaan saya. Karena saya tidak punya harta benda. Ini,
lho, berkah saya tidak punya apa-apa, saya malah menjadi menantu kiai saya.
Saudara saya membanyol: kiai
memilih kamu (yang tidak punya apa-apa) agar kamu tidak berani mempoligaminya!
Haha, banyolan saudara saya ini ada-ada saja. Mana mungkin saya berani
menduakan putri kiai saya sendiri.
Kemudian saya membantu mengajar
di pesantren kiai saya, sampai kemudian ayah saya meninggal dunia. Karena
dirumah ayah saya punya pesantren, saya mesti kembali. Saya pamit kepada kiai
saya:
Kiai, saya pamit, saya harus
pulang, ayah saya meninggal dunia, kata saya.
Kiai menjawab, oh iya betul, kamu
harus pulang. Punya tinggalan pesantren harus terus dilestarikan.
Namun kiai, ada satu hal yang ingin saya minta: saya ini tidak punya apa-apa.
Mohon minta doa amalan kepada kiai, agar saya mudah mendapat rejeki, pinta
saya.
Bukannya diberi amalan doa, saya
malah dimarahi: Huuussss!!! Kamu ini gimana, seperti tak percaya kepada Allah
saja!!!
Sontak saya tercekat kaget, tak
karu-karuan rasanya. Marah betul beliau.
Namun di situlah, di akhir-akhir
dengan kiai saya itu, hanya pertemuan sekitar lima menit, ilmu kiai saya
tertancap ke dalam hati. Karena marahnya kiai itu, saya jadi ingat semua
apa-apa yang di dalam Al-Quran, Hadits dan kitab-kitab, termasuk yang ada di
Ihya’ dan Hikam.
Saya jadi ingat ayat Al-Quran: Wa
ma min dabbatin fil-ardhi illa ‘alallahi rizquha; dan tidak ada satu binatang
melatapun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezekinya (QS. Hud [11]: 6).
Saya jadi ingat:
“...Wamayyattaqillaaha yaj
‘allahu mahrajan. Wayarzuqhu minhaitsu laayahtasib, wamayya tawaqal ‘alallaahi
fahuwa hasbuhu, inalallaha balighu amrihi qad ja ‘alallaahu liqulli syai in
qodron.”. ...Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rejeki dari arah yang tidak
disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah
akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang
dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu." (QS. At-Thalaq: 65, 2-3)
Lima menit itu benar-benar
mengubah saya. Yang tadinya ilmu hanya di lidah, sepertinya masuk ke hati saya.
Hati saya jadi tawakkal, pasrah kepada Allah. Apa yang selama ini saya kaji di
kitab-kitab itu, baru saya rasakan setelah kiai memarahi dalam tempo lima
menitan itu. Saya jadi mantap menjalani hidup.
Kemudian saya bertanya kepada
istri saya: Dik, kita akan pindah. Namun rumah ayah saya kini diwarisi adik
saya. Saya sudah tidak punya rumah. Apa jawaban istri saya?
"Saya tidak menikah dengan
rumahmu, Mas." Begitulah jawabannya. Saya jadi lega.
Memang benar Hadis Nabi: memilih
istri itu yang terpenting adalah karena faktor agamanya...
fadzfarbidzaatitdieni, taribatyadaka.
Nabi Muhammad juga demikian:
menjodohkan putrinya dengan Sayyidina Ali kw, salah seorang yang miskin (secara
duniawi, namun pandai ilmu agamanya). Padahal, banyak sahabat Nabi yang kaya
raya.
Juga demikian salah satu sahabat
beliau, Abu Hurairah. Ketika beliau mendapati putrinya yang sudah berumur untuk
menikah, beliau bertanya: lelaki seperti apa yang engkau mau? Sang putri
menjawab: dua syarat. Pertama pandai dalam ilmu, dan kedua miskin. Abu Hurairah
membalas balik: syarat pertama bisa kumengerti. Tapi, untuk apa syarat yang
kedua? Sang putri menjawab: agar dia tidak berani nikah lagi.
Begitulah. Orang-orang dulu
begitu hati-hati dalam urusan harta. Maka saya minta, jika anda sekalian menuntut
ilmu, niatnya jangan karena ingin harta. Jangan karena ingin jabatan atau
kedudukan. Jangan karena ingin dipuji orang lain. Jangan karena dunia. Tapi
niatilah menuntut ilmu untuk mencari ridla Allah semata. Insya Allah nanti
Allah yang menjamin.
Itulah salah satu kandungan yang
ada dalam kitab Ihya dan Kitab Hikam. Ini kitab tasawuf, yang kadang agak
bertentangan dengan (pendpat ulama) fiqih. Namun, kitab ini ampuh, sudah diakui
keramatnya.
Dulu, setelah jadi, kitab Ihya
ini akan dilarang oleh seseorang yang alim. Orang itu menyuruh murid-muridnya
agar kitab itu dimusnahkan, karena isinya dianggap bertentangan. Sebelum sempat
memusnahkan, orang itu mimpi bertemu dengan Rasulullah, Abu Bakar dan Umar bin
Khattab ra. Ia melihat Imam Ghazali bersamanya dan mengadukan perihal kitab ini
yang ingin dibakar. Ternyata rasulullah mengatakan kitab itu baik. Rasulullah
kemudian mencambuk orang yang alim itu. Meski dalam mimpi, ketika bangun tidur,
bekas pukulan membekas dalam tubuh, sampai waktu yang lama. Setelah itu orang
alim itu bertaubat, mau mempelajari kitab Ihya’ dan bahkan ditemui Rasulullah
dalam mimpi. (Kisah lengkapnya dalam Kitab Awariful Ma'arif karya Imam Syaikh
Syahrowardi, ed.)
Imam Ghazali - sang Hujjatul
Islam, pengarang kitab itu – ternyata tak sembarangan dalam menulis hadits.
Tiap kali menulis hadis untuk dimasukkan ke kitab Ihya, beliau berwudlu,
kemudian shalat sunnah, kemudian istikharah terlebih dahulu. Pasca itu,
sepertinya beliau dibimbing Nabi dalam mimpi, ataupun melalui peristiwa lain. Misalnya,
setelah itu, hadis yang ditulis itu dicium, apakah baunya wamgi atau tidak?
Kalau baunya wangi, ini berarti benar-benar dari nabi. Kalau tidak wangi beliu
tinggalkan hadits itu, tidak dimasukkan dalam kitabnya.
Inilah, kehebatan para ulama
salaf. Mengapa di pesantren kitab-kitab para ulama salaf masih kita kaji. Apa
maksud dari kitab ulama salaf itu? Yaitu kitab-kitab yang dibikin oleh para
ulama yang tulus, bersih, jujur, wira’i, dan hanya berharap ridha dari Allah.
Bukan untuk mendapat ganti cetak (royalti) yang melebihi harga cetaknya.
Beliau-beliau menulis bukan karena uang, ketenaran, jabatan atau yang lainnya,
tapi karena mengharap Ridla Allah semata.
Maka, anda yang belajar di
pesantren dan membelajari kitab karya ulama-ulama terdahulu harus bersyukur.
Dan banggalah, jangan minder. Dan jangan berhenti belajar. Usahakan apa yang
anda pelajari menjadi laku dan menancap dalam hati. Karena soal hatilah yang
paling sulit di dunia ini. Kalau soal ilmu dunia, skill, itu mudah. Tapi soal
hati ini sulit.
Banggalah jadi santri. Kiai
Mahrus Ali, guru saya, itu ya cuma mengaji di pesantren seperti ini, tapi
beliau bisa mencari solusi problem-problem kebangsaan, dan sering dengan Bung
Karno dan tokoh bangsa lainnya. Mbah Hasyim Asy’ari dulu juga begitu, dengan
mempelajari kitab-kitab para ulama salaf. Toh beliau mampu berkontribusi banyak
untuk bangsa dan negara.
Jangan minder jadi santri. Bila
perlu, pakailah identitasnya, seperti sarung dan peci misalnya. Mbah Mahrus Ali
dulu pakai sarung, tak pernah pakai celana. Toh beliau diterima oleh segenap
tokoh bangsa. Pula Kiai Hasyim Asy’ari, yang oleh Jepang dianggap Bapak Umat
Islam Indonesia, kemana-mana sering pakai sarung. Dan beliau-beliau mampu
menjadi rujukan persolan agama, bangsa dan negara.
Dan para kiai hari ini juga
sebenarnya bukan tidak mengerti persoalan bangsa. Hanya karena memang ada yang
sementara diam. Karena memang, dari kitab ulama salaf yang diajarkan di
pesantren itu, bisa untuk apa-apa. Maka, banggalah jadi santri. Jangan pernah
merasa minder. Nanti bangsa dan negara ini akan butuh kalian. Butuh orang-orang
yang jujur dan berakhlak.
Kita bisa lihat, bagaimana
kondisi negara ini hancur ditangan orang terdidik. BLBI belum selesai, ada
Century. Century belum selesai, ada lagi dan lagi. Terus begitu, saking
ruwetnya. Mereka tak akan kuat terus menerus seperti itu. Masalah belum ketemu
solusi, sudah masalah lagi. Ini persoalan utama ada pada manusianya.
Nah, dalam beberapa tahun
kedepan, bangsa dan negara akan butuh kalian, butuh orang orang yang jujur,
bisa dipercaya. Orang-orang akan datang ke kita, ketika ketidakjujuran dan
saling-tipu sudah membabi buta dimana-mana.
Mantapkanlah ilmu sampai kedalam
hati. Meski kelak kamu jadi apa saja, dan melanglangbuana ke Eropa misalnya,
hati kalian masih berpijak pada pesantren ini, memegang apa yang diajarkan para
kiai dan ulama salaf.
Dan jangan lupa, untuk senantiasa
shalat di awal waktu, dan lebih-lebih dilakukan secara berjamaah. Jika sudah
beristri kelak, jadilah imam istri kalian dalam shalat berjamaah. Jika anda
sekalian memenuhi kewajiban kalian, Insya Allah nanti Allah sendiri yang menata
kalian.
Kadang kita ini malu. Bahkan,
Ibnu Athaillah sendiri heran: kenapa untuk disuruh masuk surga saja harus
“dipaksakan”. Ini kan mengherankan. Coba saja: shalat subuh berjamaah,
misalnya, itu jelas sangat utama, jalan menuju syurga, tapi sulit orang
menjalankannya. Padahal itu jalan menuju kebahagiaan. Hal-hal yang wajib,
lebih-lebih yang sunnah, itu kan dari Allah agar kita menuju ke kebahagiaan,
tapi seringkali sulit orang melaksanakan.
Demikian, mudah-mudahan ini semua
bermanfaat untuk kita semua. Amin Allahumma Amin.

0 Komentar