Mitra KPP RAN Rahimahullah...
Kisah Nasehat kali ini akan
menceritakan kisah seorang ibu yang karena dosa-dosanya selalu menyakiti
hati kaum ibu yang baru melahirkan & yang sudah mati, walaupun sudah
berkali-kali pergi ke tanah suci, sang ibu belum juga bisa melihat ka’bah Baitullah..
Yuuk simak aja kisahnya berikut ini:
Siapa yang tidak mengidamkan pergi ke tanah suci, ketika ke
tanah suci tujuan setiap muslim adalah melihat Ka’bah dan mencium hajar aswad,
tapi siapa sangka ibu ini yang 7 kali laksanakan haji malah tak pernah melihat
Ka’bah.. Astaghfirullah..
Sebagai
seorang anak yang berbakti kepada orang tuanya, Hasan (bukan nama sebenarnya),
mengajak ibunya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Sarah (juga bukan
nama sebenarnya), sang Ibu, tentu senang dengan ajakan anaknya itu. Sebagai
muslim yang mampu secara materi, mereka memang berkewajiban menunaikan
ibadah Haji.
Segala
perlengkapan sudah disiapkan. Singkatnya ibu dan anak ini akhirnya berangkat ke
tanah suci. Kondisi keduanya sehat wal afiat, tak kurang satu apapun.
Tiba harinya mereka melakukan thawaf dengan hati dan niat ikhlas menyeru
panggilan Allah, Tuhan Semesta Alam. “Labaik allahuma labaik, aku datang
memenuhi seruanMu ya Allah”.
Hasan
menggandeng ibunya dan berbisik, “Ummi undzur ila Ka’bah (Bu, lihatlah
Ka’bah).” Hasan menunjuk kepada bangunan empat persegi berwarna hitam
itu.
Ibunya
yang berjalan di sisi anaknya tak beraksi, ia terdiam. Perempuan itu sama
sekali tidak melihat apa yang ditunjukkan oleh anaknya. Hasan kembali membisiki
ibunya. Ia tampak bingung melihat raut wajah ibunya.
Di
wajah ibunya tampak kebingungan. Ibunya sendiri tak mengerti mengapa ia tak
bisa melihat apapun selain kegelapan. Beberapakali ia mengusap-usap matanya,
tetapi kembali yang tampak hanyalah kegelapan. Padahal, tak ada masalah dengan
kesehatan matanya.
Beberapa
menit yang lalu ia masih melihat segalanya dengan jelas, tapi mengapa memasuki
Masjidil Haram segalanya menjadi gelap gulita.
Tujuh
kali Haji Anak yang sholeh itu bersimpuh di hadapan Allah. Ia shalat memohon
ampunan-Nya. Hati Hasan begitu sedih. Siapapun yang datang ke Baitulah,
mengharap rahmatNYA. Terasa hampa menjadi tamu Allah, tanpa menyaksikan
segala kebesaran-Nya, tanpa merasakan kuasa-Nya dan juga rahmat-Nya.
Hasan
tidak berkecil hati, mungkin dengan ibadah dan taubatnya yang sungguh-sungguh,
Ibundanya akan dapat merasakan anugrah-Nya, dengan menatap Ka’bah, kelak. Anak
yang saleh itu berniat akan kembali membawa ibunya berhaji tahun depan.
Ternyata
nasib baik belum berpihak kepadanya. Tahun berikutnya kejadian serupa terulang
lagi. Ibunya kembali dibutakan di dekat Ka’bah, sehingga tak dapat
menyaksikan bangunan yang merupakan simbol persatuan umat Islam itu.
Wanita itu tidak bisa melihat Ka’bah.
Hasan
tidak patah arang. Ia kembali membawa ibunya ke tanah suci tahun berikutnya.
Anehnya, ibunya tetap saja tak dapat melihat Ka’bah. Setiap berada di Masjidil
Haram, yang tampak di matanya hanyalah gelap dan gelap.
Begitulah
keganjilan yang terjadi pada diri Sarah. hingga kejadian itu berulang sampai
tujuh kali menunaikan ibadah haji.
Hasan
tak habis pikir, ia tak mengerti, apa yang menyebabkan ibunya menjadi buta di
depan Ka’bah. Padahal, setiap berada jauh dari Ka’bah, penglihatannya selalu
normal. Ia bertanya-tanya, apakah ibunya punya kesalahan sehingga mendapat azab
dari Allah SWT?. Apa yang telah diperbuat ibunya, sehingga mendapat musibah
seperti itu? Segala pertanyaan berkecamuk dalam dirinya.
Akhirnya
diputuskannya untuk mencari seorang alim ulama, yang dapat membantu
permasalahannya. Beberapa saat kemudian ia mendengar ada seorang ulama
yang terkenal
Karena kesholehannya dan kebaikannya di Abu Dhabi (Uni Emirat). Tanpa kesulitan
berarti, Hasan dapat bertemu dengan ulama yang dimaksud.
Ia
pun mengutarakan masalah kepada ulama yang saleh ini. Ulama itu mendengarkan dengan
seksama, kemudian meminta agar Ibu dari hasan mau menelponnya. Anak yang
berbakti ini pun pulang. Setibanya di tanah kelahirannya, ia meminta ibunya
untuk menghubungi ulama di Abu Dhabi tersebut. Beruntung, sang Ibu mau memenuhi
permintaan anaknya. Ia pun mau menelpon ulama itu, dan menceritakan kembali
peristiwa yang dialaminya di tanah suci.
Ulama
itu kemudian meminta Sarah introspeksi, mengingat kembali, mungkin ada
perbuatan atau peristiwa yang terjadi padanya di masa lalu, sehingga ia tidak
mendapat rahmat Allah. Sarah diminta untuk bersikap terbuka, mengatakan dengan
jujur, apa yang telah dilakukannya.
“Anda
harus berterus terang kepada saya, karena masalah Anda bukan masalah
sepele,” kata ulama itu pada Sarah. Sarah terdiam sejenak. Kemudian ia
meminta waktu untuk memikirkannya.
Tujuh
hari berlalu, akan tetapi ulama itu tidak mendapat kabar dari Sarah. Pada
minggu kedua setelah percakapan pertama mereka, akhirnya Sarah menelpon.
“Ustad,
waktu masih muda, saya bekerja sebagai perawat di rumah sakit,” cerita
Sarah akhirnya.
“Oh,
bagus….. Pekerjaan perawat adalah pekerjaan mulia,” potong ulama itu.
“Tapi
saya mencari uang sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara, tidak peduli,
apakah cara saya itu halal atau haram,” ungkapnya terus terang. Ulama itu
terperangah. Ia tidak menyangka wanita itu akan berkata demikian.
“Di
sana….” sambung Sarah, “Saya sering kali menukar bayi, karena tidak semua ibu
senang dengan bayi yang telah dilahirkan. Kalau ada yang menginginkan anak
laki-laki, padahal bayi yang dilahirkannya perempuan, dengan imbalan uang, saya
tukar bayi-bayi itu sesuai dengan keinginan mereka.”
Ulama
tersebut amat terkejut mendengar penjelasan Sarah.
“Astagfirullah……”
betapa tega wanita itu menyakiti hati para ibu yang diberi amanah Allah untuk
melahirkan anak. bayangkan, betapa banyak keluarga yang telah dirusaknya,
sehingga tidak jelas nasabnya.
Apakah
Sarah tidak tahu, bahwa dalam Islam menjaga nasab atau keturunan sangat
penting. Jika seorang bayi ditukar, tentu nasabnya menjadi tidak jelas.
Padahal, nasab ini sangat menentukan dalam perkawinan, terutama dalam masalah
mahram atau muhrim, yaitu orang-orang yang tidak boleh dinikahi.
“Cuma
itu yang saya lakukan,” ucap Sarah.
“Cuma
itu ?” tanya ulama terperangah. “Tahukah anda bahwa perbuatan Anda itu dosa
yang luar biasa, betapa banyak keluarga yang sudah Anda hancurkan!” ucap ulama
dengan nada tinggi.
“Lalu apa lagi yang Anda kerjakan?” tanya ulama itu lagi sedikit kesal.
“Di
rumah sakit, saya juga melakukan tugas memandikan orang mati.”
“Oh
bagus, itu juga pekerjaan mulia,” kata ulama.
“Ya, tapi saya memandikan orang mati karena ada kerja sama dengan tukang
sihir.”
“Maksudnya?”
tanya ulama tidak mengerti.
“Setiap
saya bermaksud menyengsarakan orang, baik membuatnya mati atau sakit, segala
perkakas sihir itu sesuai dengan syaratnya, harus dipendam di dalam tanah. Akan
tetapi saya tidak menguburnya di dalam tanah, melainkan saya masukkan
benda-benda itu ke dalam mulut orang yang mati.”
“Suatu
kali, pernah seorang alim meninggal dunia. Seperti biasa, saya memasukkan
berbagai barang-barang tenung seperti jarum, benang dan lain-lain ke
dalam mulutnya. Entah mengapa benda-benda itu seperti terpental, tidak mau
masuk, walaupun saya sudah menekannya dalam-dalam. Benda-benda itu selalu
kembali keluar. Saya coba lagi begitu seterusnya berulang-ulang. Akhirnya,
emosi saya memuncak, saya masukkan benda itu dan saya jahit mulutnya. Cuma itu
dosa yang saya lakukan.”
Mendengar
penuturan Sarah yang datar dan tanpa rasa dosa, ulama itu berteriak marah.
“Cuma
itu yang kamu lakukan? Masya Allah…. !!! Saya tidak bisa bantu anda. Saya
angkat tangan,” Ulama itu amat sangat terkejutnya mengetahui perbuatan
Sarah. Tidak pernah terbayang dalam hidupnya ada seorang manusia, apalagi
ia adalah wanita, yang memiliki nurani begitu tega, begitu keji. Tidak pernah
terjadi dalam hidupnya, ada wanita yang melakukan perbuatan sekeji itu.
Akhirnya
ulama itu berkata, “Anda harus memohon ampun kepada Allah, karena hanya Dialah
yang bisa mengampuni dosa Anda.”
Bumi
menolaknya
Setelah
beberapa lama, sekitar tujuh hari kemudian ulama tidak mendengar kabar
selanjutnya dari Sarah. Akhirnya ia mencari tahu dengan menghubunginya melalui
telepon. Ia berharap Sarah telah bertobat atas segala yang telah diperbuatnya.
Ia berharap Allah akan mengampuni dosa Sarah, sehingga Rahmat Allah datang
kepadanya.
Karena
tak juga memperoleh kabar, ulama itu menghubungi keluarga Hasan. Kebetulan yang
menerima telepon adalah Hasan sendiri. Ulama menanyakan kabar Sarah, ternyata
kabar duka yang diterima ulama itu.
“Ummi
sudah meninggal dua hari setelah menelpon ustad,” ujar Hasan. Ulama itu
terkejut mendengar kabar tersebut.
“Bagaimana
ibumu meninggal, Hasan?” tanya ulama itu.
Hasanpun
akhirnya bercerita :
Setelah menelpon sang ulama, dua hari kemudian ibunya jatuh sakit dan
meninggal dunia. Yang mengejutkan adalah peristiwa penguburan Sarah. Ketika
tanah sudah digali, untuk kemudian dimasukkan jenazah atas ijin Allah, tanah
itu rapat kembali, tertutup dan mengeras. Para penggali mencari lokasi lain
untuk digali. Peristiwa itu terulang kembali. Tanah yang sudah digali
kembali menyempit dan tertutup rapat.
Peristiwa
itu berlangsung begitu cepat, sehingga tidak seorangpun pengantar jenazah yang
menyadari bahwa tanah itu kembali rapat. Peristiwa itu terjadi berulang-ulang.
Para pengantar yang menyaksikan peristiwa itu merasa ngeri dan merasakan
sesuatu yang aneh terjadi. Mereka yakin, kejadian tersebut pastilah berkaitan
dengan perbuatan si mayit.
Waktu
terus berlalu, para penggali kubur putus asa dan kecapaian karena pekerjaan
mereka tak juga usai. Siangpun berlalu, petang menjelang, bahkan sampai hampir
maghrib, tidak ada satupun lubang yang berhasil digali. Mereka akhirnya pasrah,
dan beranjak pulang.
Jenazah
itu dibiarkan saja tergeletak di hamparan tanah kering kerontang. Sebagai anak
yang begitu sayang dan hormat kepada ibunya, Hasan tidak tega
meninggalkan jenazah orang tuanya di tempat itu tanpa dikubur. Kalaupun dibawa
pulang, rasanya tidak mungkin.
Hasan
termenung di tanah perkuburan seorang diri. Dengan ijin Allah, tiba-tiba
berdiri seorang laki-laki yang berpakaian hitam panjang, seperti pakaian khusus
orang Mesir. Lelaki itu tidak tampak wajahnya, karena terhalang tutup kepalanya
yang menjorok ke
depan.
Laki-laki
itu mendekati Hasan kemudian berkata padanya, “Biar aku tangani jenazah
ibumu, pulanglah!” kata orang itu.
Hasan
lega mendengar bantuan orang tersebut, Ia berharap laki-laki itu akan menunggu
jenazah ibunya. Syukur-syukur mau menggali lubang untuk kemudian mengebumikan
ibunya.
“Aku
minta supaya kau jangan menengok ke belekang, sampai tiba di rumahmu,”
pesan lelaki itu.
Hasan
mengangguk, kemudian ia meninggalkan pemakaman. Belum sempat ia keluar
lokasi pemakaman, terbersit keinginannya untuk mengetahui apa yang
terjadi dengan jenazah ibunya.
Sedetik
kemudian ia menengok ke belakang. Betapa pucat wajah Hasan, melihat jenazah
ibunya sudah dililit api, kemudian api itu menyelimuti seluruh tubuh ibunya.
Belum habis rasa herannya, sedetik kemudian dari arah yang berlawanan, api
menerpa wajah Hasan. Hasan ketakutan. Dengan langkah seribu, ia pun bergegas
meninggalkan tempat itu.
Demikian
yang diceritakan Hasan kepada ulama itu. Hasan juga mengaku, bahwa separuh
wajahnya yang tertampar api itu kini berbekas kehitaman karena terbakar.
Ulama
itu mendengarkandengan seksama semua cerita yang diungkapkan Hasan. Ia
menyarankan, agar Hasan segera beribadah dengan khusyuk dan meminta ampun atas
segala perbuatan atau dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh ibunya.
Akan
tetapi, ulama itu tidak menceritakan kepada Hasan, apa yang telah diceritakan
oleh ibunya kepada ulama itu. Ulama itu meyakinkan Hasan, bahwa apabila anak
yang soleh itu memohon ampun dengan sungguh-sungguh, maka bekas luka di pipinya
dengan ijin Allah
akan hilang.
Benar
saja, tak berapa lama kemudian Hasan kembali mengabari ulama itu, bahwa lukanya
yang dulu amat terasa sakit dan panas luar biasa, semakin hari bekas kehitaman
hilang.
Tanpa
tahu apa yang telah dilakukan ibunya selama hidup, Hasan tetap mendoakan
ibunya. Ia berharap, apapun perbuatan dosa yang telah dilakukan oleh ibunya,
akan diampuni oleh Allah SWT.
Semoga
kisah nyata dari Mesir ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Uang Rp
50.000 kelihatan begitu besar bila dibawa ke kotak derma masjid, tetapi begitu
kecil bila kita bawa ke supermarket. 45 menit terasa terlalu lama untuk
berzikir tapi betapa pendeknya waktu itu untuk menonton sinetron di televisi.
Semua insan ingin memasuki syurga tetapi tidak ramai yang berfikir dan
berbicara tentang bagaimana untuk memasukinya.
Semoga bermanfaat..
0 Komentar